Masalah Perkotaan Butuh Penanganan Terpadu

Tanggal Publikasi Sep 08, 2014
718 Kali
Kawasan terbangun perkotaan telah meluas melewati batas administrasi kota dan membentuk kawasan Metropolitan semisal Jabodetabek, Sarbagita, Maminasata, Kartamantul, Kedungsepur, Banjarbakula, dan Bandung Raya yang merupakan satu kesatuan sistem perkotaan.

Permasalahan di perkotaan terkait lingkungan, transportasi, pengelolaan sampah, drainase, penyediaan air bersih, pengelolaan air limbah, dll yang merupakan kebutuhan dasar pelayanan terhadap masyarakat perkotaan bukan hanya menjadi beban satu kota, melainkan menjadi persoalan perkotaan yang terpadu. Itu sebabnya, penangannya pun membutuhkan sistem terpadu yang melibatkan kota-kota di sekitarnya yang berdekatan.

Demikian hal penting yang disampaikan Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri dalam Rapat Teknis Revitalisasi Badan Kerja Sama Kawasan Metropolitan, pada 5 s.d.7 Mei 2014, di Surakarta.

“Bersamaan dengan pesatnya perkembangan Kawasan Perkotaan, tumbuh pula berbagai persoalan pada kawasan perkotaan, yakni lingkungan, transportasi, pengelolaan persampahan, drainase, penyediaan air bersih, dan pengelolaan air limbah yang merupakan kebutuhan dasar pelayanan terhadap masyarakat perkotaan,” jelas Dr. H. Muh. Marwan, M.Si dalam sambutannya.

“Persoalan tersebut saling berkaitan erat dan tidak terbatas oleh batas administrasi. Jadi tidak bisa dilihat sebagai persoalan satu kota, melainkan sistem perkotaan yang terpadu,” tambahnya.

Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah untuk mengoptimalkan peran kelembagaan kerjasama Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten (Subosukawonosraten) dalam peningkatan kerjasama antardaerah.

Sementara itu, peserta rapat yang hadir terdiri dari: Pemerintah Pusat yang diwakili unsur Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri dan Bappenas; Pemerintah Daerah yang dihadiri oleh perwakilan dari Bappeda dan Setda yang membidangi kerja sama antardaerah serta SKPD terkait, pada provinsi dan kabupaten/kota yang tergabung dalam kerjasama antardaerah Subosukawonosraten; serta praktisi perkotaan.

Sebagaimana diketahui, suatu sistem perkotaan dengan kawasan perkotaan di sekitarnya, memiliki potensi timbulnya berbagai permasalahan yang bersifat lintas daerah, di mana permasalahan perkotaan tidak dapat lagi diatasi secara internal suatu kota, namun harus diselesaikan secara bersama antardaerah yang bersangkutan melalui mekanisme kerja sama.

UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 196 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah, dikelola bersama oleh daerah terkait.

Menurut Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, pengelolaan bersama yang dimaksud dalam UU tersebut perlu dilakukan melalui mekanisme kerja sama antardaerah. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang terintegrasi antarwilayah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat perkotaan.

Namun demikian, mantan Kepala Litbang Kemendagri itu juga mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan kerja sama antardaerah tersebut.

Faktor-faktor tersebut, yaitu: political will baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif; komunikasi yang intensif secara formal maupun informal untuk memudahkan pelaksanaan kerja sama antardaerah; sumberdaya manusia yang kurang profesional dan komitmen turut menyebabkan kurang sinerginya antara pihak-pihak yang terlibat; dan sumber daya finansial.

Permasalahan kerja sama antardaerah adalah adanya perbedaan kebijakan yang diterapkan para pelaku kerja sama baik ditingkat perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan. Hal tersebut menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan kerja sama, baik perumusan kerja sama baru maupun implementasi kerja sama yang telah ada.

”Karena itu, solusi yang perlu dilakukan adalah melakukan peningkatan koordinasi secara aktif dan komunikasi antara kabupaten/kota sebagai pelaku kerja sama,” demikian beliau menjelaskan.

Selain itu, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si juga menegaskan, untuk mendorong keberhasilan dalam melaksanakan kerja sama dimaksud, dibutuhkan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) yang dapat menjadi wadah koordinasi dan forum komunikasi antarpimpinan daerah dalam mengatasi permasalahan kawasan perkotaan.

“Dengan hal itu, diharapkan adanya efisiensi, efektivitas, dan sinergi dalam pengelolaan kawasan perkotaan,” imbuh beliau.

Manajemen kerja sama yang semakin baik akan menghasilkan kinerja kerja sama yang semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kerja sama tersebut diharapkan adanya beberapa hal perbaikan. Pertama, sasaran kerja sama yang jelas. Kedua, perencanaan teknis secara detail yang memadai pada setiap obyek yang dikerjasamakan. Ketiga, perencanaan pendanaan yang detail sehingga memudahkan dalam musyawarah antardaerah dalam menentukan sharing pendanaan antardaerah. Keempat, perencanaan kelembagaan dalam merealisasikan kerja sama. Kelima, koordinasi yang insentif antarperangkat daerah pelaksana masing-masing obyek kerja sama sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang difasilitasi oleh lembaga kerja sama. Keenam, adanya dukungan dan dorongan pimpinan daerah dan DPRD dalam merealisasikan sasaran kerja sama. Ketujuh, adanya kesadaran masing-masing daerah untuk mengutamakan kepentingan peningkatan pelayanan bagi masyarakat luas.

“Oleh karena itu, tantangan bagi badan atau lembaga kerja sama di masa yang akan datang adalah mewujudkan manajemen kerja sama yang lebih memadai. Tanpa perbaikan manajemen kerja sama, keberhasilan kerja sama di masa mendatang akan sulit untuk diwujudkan,” demikian beliau menyimpulkan.[ds/hny]