Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah

Tanggal Publikasi Oct 21, 2014
919 Kali
Sister City adalah sebuah konsep di mana dua daerah atau kota yang secara geografis, administratif, dan politik berbeda, berpasangan untuk menjalin hubungan sosial antarmasyarakat dan budaya.

Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si menyampaikan, kerjasama Kota Kembar (Sister City) merupakan peluang emas di era otonomi daerah guna memajukan pembangunan di daerah.

Kerjasama Sister City merupakan kerjasama antarsuatu daerah di dalam negeri dengan mitranya yang berkedudukan sama di luar negeri dengan tujuan menjalin kontak sosial antarmasyarakat dan hubungan budaya.

Menurut data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah, jumlah daerah yang telah menjalankan kerjasama Sister City sampai tahun 2013 adalah sebanyak 102 dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU).

Dalam mendukung kegiatan Sister City, Ditjen Bina Pembangunan Daerah menyelenggarakan Rapat Teknis Peningkatan Kerjasama Perkotaan Antarnegara, pada tanggal 25 s.d. 27 Juni 2014, di Surakarta.

Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk menyamakan persepsi dan menyelaraskan peraturan pelaksanaan kerjasama Sister City yang berkelanjutan, dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasinya, serta dalam rangka pelaksanaan pilot project kegiatan Sister City yang berkelanjutan antara Kota Surakarta dengan Kota Beijing, Tiongkok.

Peserta rapat teknis tersebut, antara lain: pemerintah pusat yang diwakili unsur dari Kementerian Dalam Negeri, yakni komponen Ditjen Bina Pembangunan Daerah, dan Pusat AKLN, Bappenas, dan Kementerian Luar Negeri; serta pemerintah daerah yang dihadiri oleh perwakilan Bappeda dan Setda yang membidangi kerja sama antardaerah serta SKPD terkait; dan praktisi perkotaan.

Dalam rapat teknis tersebut, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si juga menegaskan, melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik sesama pemerintah maupun swasta, di dalam dan luar negeri. 

“Hal itu untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan sinergi (dalam membangun daerah),” demikian beliau menyampaikan.

Hal tersebut telah diamanatkan dalam pasal 195 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pedoman pelaksanaannya telah ditetapkan dalam berbagai regulasi antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah; Permendagri Nomor 69 tahun 2007 tentang Kerjasama Pembangunan Perkotaan; Permendagri Nomor 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri; Permendagri Nomor 22 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Kerjasama Antardaerah; dan Permendagri Nomor 23 tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Daerah.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut pemerintah daerah diharapkan mampu melaksanakan pembangunan di daerahnya melalui upaya kerjasama Sister City. 

“(Melalui kerjasama Sister City), diharapkan pemerintah daerah dapat memacu kreativitas dan inovasi dalam pelaksanaan pembangunan di daerahnya,” jelas Dr. H. Muh. Marwan, M.Si.

Walaupun MoU kerjasama Sister City telah banyak dilaksanakan pemerintah daerah, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si tetap berharap, kerjasama-kerjasama yang telah dilakukan dapat terus dioptimalkan pelaksanaannya.

“Berdasarkan observasi dan kunjungan lapangan (yang dilakukan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah), sebagian besar kerjasama luar negeri masih belum berjalan secara optimal,” katanya.

Kerjasama Sister City yang telah dilaksanakan belum secara serius ditidaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan yang nyata di lapangan. Beberapa hal yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerjasama tersebut, antara lain: belum tersedianya pedoman pelaksanaan yang detail sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan kerjasama tersebut; kurang siapnya pemerintah daerah/kota dan komunitas yang akan terlibat dalam kerjasama Sister City; belum ada sinkronisasinya informasi yang dibutuhkan antardaerah/komunitas terhadap kota di luar negeri yang akan diajak/mengajak kerjasama Sister City; belum sesuainya bidang-bidang yang akan dikerjasamakan dengan potensi dan kebutuhan daerah/komunitas; dan belum tercantumnya program/kegiatan kerjasama Sister City dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, sehingga kegiatan Sister City belum mendapat dukungan anggaran yang memadai.

Ke depan, kota-kota di dunia akan terintegrasi dalam suatu jejaring yang bersifat selektif, artinya hanya kota yang memiliki keunggulan yang dapat ikut serta dalam kerjasama. Itu sebabnya, pemerintah perlu membuat Grand Strategy Sister City untuk kota-kota di Indonesia.

“Grand Strategy Sister City tersebut berisi potensi dan kekhasan yang dimiliki kota-kota di Indonesia yang unggul,” jelas Dirjen Bina Pembangunan Daerah itu. 

Menurut Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, beberapa upaya yang dapat dikembangkan, yaitu dengan mengembangkan sistem informasi dan database pembangunan perkotaan, termasuk e-planning yang terintegrasi antarkota, antara kota-kabupaten, dan antara provinsi-nasional. 

Hal itu juga perlu dukungan pengembangan badan kerjasama pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan, khususnya kawasan metropolitan dan kerjasama antarkota, kususnya dalam aspek infrastruktur dan pengembangan investasi.

Di akhir sambutannya, Dr. Muh. Marwan, M.Si menyinggung soal persiapan pelaksanaan kerjasama Sister City antara Kota Surakarta dengan Kota Beijing-Tiongkok. Beliau berharap kerjasama tersebut dapat menjadi best practise bagi Kota Surakarta dan pemerintah daerah lain. 

“Kerjasama (Kota Surakarta dan Beijing) diharapkan bisa bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan daerah dan secara khusus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” demikian pungkasnya.[ds/hny]