Kemendagri Inisiasi RUU Perkotaan - Kawasan Perkotaan Harus Nyaman dan Layak Huni Bagi Masyarakat yang Bermukim di Dalamnya

Tanggal Publikasi Mar 25, 2014
1,069 Kali
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan inisiasi penyiapan Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkotaan.

"Inisiasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kebijakan pembangunan kawasan perkotaan belum menjadi salah satu komponen penggerak pembangunan wilayah," jelas Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Undang-undang tentang Perkotaan, pada 27 Februari 2014, di Jakarta.

Beliau juga menjelaskan bahwa selama ini, pembangunan kawasan perkotaan belum memposisikan kawasan perkotaan sebagai entitas sosial dan budaya. Selain itu, kawasan perkotaan seyogyanya dapat mendorong pengembangan produktivitas dan kegiatan ekonomi lokal dan sebagai garda terdepan dalam era globalisasi ini. Kawasan perkotaan juga harus berperan sebagai benteng budaya lokal dan nasional yang berwawasan lingkungan hidup.

Saat ini regulasi yang sudah ada terkait dengan pengelolaan kawasan perkotaan masih kurang memberikan dukungan bagi upaya-upaya pencapaian tujuan pembangunan kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan wilayah dan masih bersifat sangat parsial serta tersebar dalam beberapa undang-undang.

“Dengan adanya Undang-undang Perkotaan, diharapkan kebutuhan pengaturan pengelolaan kawasan perkotaan dapat terjawab dalam satu payung hukum,” imbuh beliau.

Pertemuan yang diinisiasi Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah tersebut merupakan pertemuan awal dari serangkaian pertemuan penyiapan Naskah RUU Perkotaan yang akan diselenggarakan dalam tahun 2014.

Karena itu, beliau berharap kegiatan tersebut dapat menjawab berbagai permasalahan yang diangkat dalam beberapa seminar perkotaan pada tahun 2013 yang lalu.    

Pada 2013 lalu, dalam rangka penyusunan RUU tentang Perkotaan, Ditjen Bina Pembangunan Daerah telah menyelenggarakan serangkaian kegiatan berupa FGD dan seminar di beberapa kota dengan melibatkan perguruan tinggi, para pakar perkotaan, serta pejabat pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Melalui rangkaian kegiatan tersebut, salah satu komponen di Kemendagri ini telah merumuskan konsep RUU tentang Perkotaan, walaupun konsep tersebut masih belum sempurna dan memiliki banyak kekurangannya.

Sebagai bahan pertimbangan, berikut rumusan awalnya. Pertama, dalam menghadapi persaingan global, kawasan perkotaan dituntut untuk mampu berperan sebagai tempat beraktivitas yang kompetitif dan dapat mendorong para pelaku usaha untuk mengembangkan ekonomi lokal tanpa kehilangan budaya serta jati dirinya.

Kedua, pertumbuhan kawasan perkotaan, di luar kota otonom, sangat cepat dan tidak terencana dengan baik. Berdasarkan hasil kajian pada tahun 2010, di Indonesia telah terbentuk 806 kawasan perkotaan yang terdiri dari satu kawasan perkotaan setingkat provinsi; 93 kota otonom; 402 ibukota kabupaten; dan 219 kawasan berciri perkotaan di kabupaten; serta 91 kawasan perkotaan baru. Selain itu, ditemukan bahwa kawasan perkotaan yang bukan berstatus otonom mengalami permasalahan pengelolaan yang lebih besar dibandingkan dengan kota otonom yang sudah memiliki kelengkapan lembaga pengelola.

Ketiga, meskipun pembangunan perkotaan menuntut satuan sasaran yang utuh dan terpadu, namun regulasi yang ada cenderung sektoral dan berjalan sendiri-sendiri. Sementara itu, persoalan yang terdapat di wilayah perkotaan bersifat multi sektor cenderung tidak ditangani dengan baik yang berimbas pada terabaikannya pelayanan terhadap masyarakat.

Keempat, belum optimalnya sinergitas dan efektivitas penyediaan pelayanan perkotaan antarsektor di kawasan perkotaan. Penyediaan pelayanan perkotaan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah masih berorientasi pada pemenuhan target kinerja yang bersifat sektoral dan belum terintegrasi dalam konteks kewilayahan secara utuh (baik secara internal maupun eksternal). Kondisi ini mengakibatkan kawasan perkotaan menjadi tidak dapat berfungsi secara optimal.

Kelima, penyediaan prasarana sarana dan utilitas (PSU) yang kurang memadai. Pada satu sisi, kabupaten/kota tidak menguasai permasalahan PSU akibat kelemahan data mengenai PSU yang sudah diserahterimakan. Namun di sisi lain, terdapat kualitas PSU yang seharusnya cukup baik, dengan kualitas pelayanan yang tinggi, namun dikarenakan tidak terawat dengan baik, mengakibatkan kondisi PSU menjadi cepat rusak. Hal ini disebabkan pembangunan standar PSU yang tidak selaras dengan kondisi kabupaten/kota yang berdampak pada banyaknya PSU perumahan dan pemukiman yang rusak pada saat diserahterimakan dari pengembang kepada pemerintah daerah.

Keenam, meskipun sudah terdapat regulasi yang memuat aturan tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP), namun saat ini terjadi penurunan presentase jumlah RTHKP di kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, antara lain luasan wilayah kawasan perkotaan dan kondisi fisik lingkungan. Contoh dari kondisi fisik lingkungan misalnya, turunnya kualitas air tanah dan tercemarnya sungai-sungai di wilayah perkotaan.[ds]